Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 25 Januari 2017

Model Pengembangan Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini

Berbagai model pengembangan kurikulum bagi PAUD sangat diperlukan ketika seseorang ataupun dalam tim akan mengembangkan lembaga pendidikan yang sesuai dengan situasi dan kondisi alam, budaya dan kebiasaan yang ada di masyarakat. Untuk di Indonesia model pengembangan kurikulum akan sangat berguna bagi pengembangan potensi kedaerahan yang cenderung berbeda satu dengan lainnya. Sudah semestinya terdapat perbedaan model pembelajaran pada masing-masing daerah yang disesuaikan dengan kebutuhan yang berbeda. Diharapkan setelah mempelajari bab ini, pembaca dan mahasiswa dapat:
1. Menjelaskan pilar pengembangan kurikulum anak usia dini
2. Mengkaji pendekatan dalam pengembangan kurikulum
3. Mengkaji prinsip pengembangan kurikulum
4. Menerapkan berbagai model pembelajaran anak usia dini
5. Menerapkan model kurikulum anak usia dini berdasarkan rentang usia
Berkaitan dengan pencapaian tujuan pembelajaran/indikator di atas, maka selanjutnya dipaparkan topik bahasan tersebut. 

A. Pilar Pengembangan Kurikulum Anak Usia Dini
Pengembangan kurikulum anak usia dini hendaknya dikembangkan berdasarkan tiga pilar, yaitu:
(1) Penataan lingkungan di dalam dan di luar kelas (in-door dan out-door); (2) Kegiatan bermain dan alat permainan edukatif dan (3) interaksi yang ditunjukkan oleh guru dan anak serta orang-orang yang terdapat di lembaga pendidikan tersebut. Selanjutnya pilar tersebut perlu dijabarkan ke dalam suatu strategi pembelajaran pada pendidikan anak usia dini yang terdiri dari komponen-komponen berikut ini.
• Tujuan yang mengarah pada tugas-tugas perkembangan di setiap rentangan usia anak.
• Materi yang diberikan harus mengacu dan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan yang sesuai dengan perkembangan anak (DAP= Developmentally Approriate Practice).
• Metode yang dipilih seharusnya bervariasi sesuai dengan tujuan kegiatan belajar dan mampu melibatkan
anak secara aktif dan kreatif serta menyenangkan.
• Media dan lingkungan bermain yang digunakan haruslah aman, nyaman dan menimbulkan ketertarikan
bagi anak dan perlu adanya waktu yang cukup untuk bereksplorasi.
• Evaluasi yang terbaik dan dianjurkan untuk dilakukan adalah rangkaian sebuah asesmen melalui observasi
partisipatif terhadap apa yang dilihat, didengar dan diperbuat oleh anak.

B. Pendekatan dalam Pengembangan Kurikulum PAUD
Pakar psikologi perkembangan memandang bahwa anak terlahir dengan dorongan dari dalam dirinya untuk menguasai berbagai kompetensi. Sebagai contoh seorang anak pada usia berjalan akan terlihat adanya usaha keras untuk menarik dirinya berdiri menggunakan kursi, pada mulanya memang ia tidak akan segera naik bahkan terkadang terjatuh sehingga tampak diwajahnya menunjukkan kekesalan. Perjuangan untuk dapat berjalan terjadi secara kontinyu. Seolah takut terjatuh lagi, anak membangun kekuatan untuk bangun dan berdiri. Ini adalah bukti bahwa ada dorongan dari dalam (motivasi instrinsik) yang mengharuskan anak berdiri tegak dan kemudian berjalan. Pada dasarnya terdapat 2 pendekatan utama yang digunakan untuk pendidikan anak usia dini, yaitu pendekatan perilaku dan pendekatan perkembangan (Hainstock, 1999:7). Pendekatan perilaku beranggapan bahwa konsep-konsep tidaklah berasal dari dalam diri anak dan tidak berkembang secara spontan. Atau dengan perkataan lain konsep-konsep tersebut harus ditanamkan pada anak dan diserap oleh anak, sehingga pendekatan seperti ini melahirkan pengajaran yang berpusat pada guru (Wolfgang dan Wolfgang, 1995:55). Pendekatan perkembangan, berpandangan bahwa perkembanganlah yang memberikan kerangka untuk memahami dan menghargai pertumbuhan alami anak usia dini. Terdapat beberapa anggapan dari pendekatan ini, yaitu: (1) anak usia dini adalah pembelajar aktif yang secara terus menerus mendapat informasi mengenai dunia lewat permainannya, (2) setiap anak mengalami kemajuan melalui tahapan-tahapan perkembangan yang dapat diperkirakan, (3) anak bergantung pada orang lain dalam hal pertumbuhan emosi dan kognitif melalui interaksi sosial, (4) anak adalah individu yang unik yang tumbuh dan berkembang dengan kecepatan yang berbeda (Wolfgang dan Wolfgang, 1995: 56-58). Metodologi yang sesuai dengan perkembangan adalah metodologi yang didasarkan pada pengetahuan mengenai perkembangan anak. Setiap anak berkembang melalui tahapan perkembangan yang umum, tetapi pada saat yang sama setiap anak juga adalah makhluk individu dan unik. Pembelajaran yang sesuai adalah pembelajaran yang sesuai dengan minat, tingkat perkembangan kognitif serta kematangan sosial dan emosional. Vygotsky dalam Naughton (2003:46) percaya bahwa bermain membantu perkembangan kognitif anak secara langsung, tidak sekedar sebagai hasil dari perkembangan kognitif seperti yang dikemukakan oleh Piaget. Ia menegaskan bahwa bermain simbolik memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan berpikir abstrak. Sejak anak memulai bermain make believe, anak menjadi mampu berpikir tentang makna-makna onyek yang mereka representasikan secara independen. Dengan demikian, pada awal proses penggantian objek dalam bermain dramatik prototipikalitas objek menjadi sangat krusial, sementara perkembangan berikutnya bermain dramatik prototipikalitas menjadi kurang begitu penting. Berhubungan dengan hal tersebut di atas, maka peran pendidik berkaitan dengan teori perkembangan antara lain adalah: (1) tanggap dengan proses yang terjadi dari dalam diri anak dan berusaha mengikuti arus perkembangan anak yang individual, (2) mengkreasikan lingkungan dengan materi yang luas, beragam, dan alat-alat yang memungkinkan anak belajar, (3) memperhatikan laju dan kecepatan belajar dari setiap anak, dan (4) adanya bimbingan dari guru agar anak tertantang untuk melakukan sendiri.

1. Pendekatan Tematik
Pembelajaran tematik merupakan suatu strategi pembelajaran yang melibatkan beberapa bidang pengembangan untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada anak (Kostelknik (1991: 17). Keterpaduan dalam pembelajaran ini dapat dilihat dari aspek proses atau waktu, aspek kurikulum, dan aspek belajar mengajar. Pembelajaran tematik diajarkan pada anak karena pada umumnya mereka masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistic) perkembangan fisiknya tidak pernah dapat dipisahkan dengan perkembangan mental, sosial, dan emosional. Sesuai dengan perkembangan fi sik dan mental anak usia empat sampai enam tahun, pembelajaran pada tahap ini haruslah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut. (1) Berpusat pada anak. (2)Memberikan pengalaman langsung pada anak. (3) Pemisahan bidang pengembangan tidak begitu jelas. (4) Menyajikan konsep dari berbagai bidang pengembangan dalam suatu proses pembelajaran. (5) Bersifat fl eksibel atau luwes. (6) Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak (Kostelnik, 1991: 17-20)

2. Pusat Kegiatan Belajar (Sentra)
Salah satu tugas yang cukup sulit bagi guru anak usia dini adalah ketika mereka harus merencanakan, mendesain, dan mengadakan pengaturan pusat sumber belajar yang sesuai dengan kurikulum yang tepat untuk tingkat kemampuan anak-anak yang berbeda dalam satu kelas. Hal ini tentunya sangat berhubungan dengan pembelajaran yang berpusat pada anak. Pusat kegiatan belajar pada pembelajaran yang berpusat pada anak dibangun atas dasar bahwa setiap anak memiliki modalitas, gaya belajar, dan minat yang berbeda terhadap pengetahuan yang ingin diketahuinya. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Day yang menyatakan bahwa pusat kegiatan belajar dapat mengadaptasi perbedaan dari gaya belajar, tingkat kematangan, dan perkembangan anak, dan perbedaan dari latar belakang yang berbeda. Prinsip yang digunakan adalah individualisasi pengalaman belajar. Setiap anak diperkenankan untuk memilih pusat kegiatan belajar yang akan digunakan untuk bereksplorasi dan bermain. Craig dan Borba (1978:3) berpendapat bahwa konsep dari pusat kegiatan belajar adalah:
I hear and I forget                    Saya dengar dan saya lupa
I see and I remember               Saya lihat dan saya ingat
I do and I understand               Saya lakukan dan saya paham
Pendapat inilah yang mendukung kegiatan melalui belajar sambil berbuat (learning by doing ) di semua area di pusat kegiatan belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa model pembelajaran sentra memiliki ciri khas pembelajaran sebagai berikut: learning by doing, pembelajaran dilakukan secara langsung oleh anak, dimana kelima indra anak terlibat secara langsung, sehingga anak memperoleh pengetahuan dari interaksi anak dengan lingkungan secara langsung; learning by stimulating, pembelajaran ini menitikberatkan pada stimulasi perkembangan anak secara bertahap, jadi pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan tahap perkembangan anak; learning by modelling, pembelajaran sentra juga menggunakan orang dewasa dan anak yang perkembanganya lebih berkembang sebagai contoh. Selanjutnya Craig dan Borba (1978:15) juga menjelaskan bahwa terdapat beberapa pendekatan yang harus diperhatikan disetiap sentra, yaitu: (1) program card, setiap anak harus merencanakan apa yang akan mereka lakukan pada hari itu; (2) open choice, guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil dimana setiap kelompok akan mendapat tugas untuk mengerjakan tugas bersama-sama dan guru mengatur perpindahan dari satu sentra ke sentra lainnya; (3) multi station, berupa tempat pergantian dan waktu menunggu 3-5 menit; serta (4) enrichment centers, setelah anak-anak menyelesaikan tugasnya di masing-masing sentra, apabila ada waktu luang mereka boleh menggunakan sentra untuk program pengayaan. 3. Pengelolaan Kelas Berpindah (Moving Class Activity) Pengelolaan kelas merupakan pengaturan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh guru baik di dalam ruang (indoor activity) ataupun di luar (outdoor activity) dalam rangka melancarkan proses belajar dan pembelajaran pada anak. Carrol (1991:22) menyakini bahwa pengaturan kelas adalah kunci sukses dari program pembelajaran untuk anak usia dini, berapa lama waktu untuk melakukan dan apa yang akan dilakukan. Untuk itu kelas harus dibagi kedalam beberapa sentra dimana anak-anak dapat bermain, belajar, duduk, berbicara atau berada di dalam kelompoknya. Berhubungan dengan model bermain kreatif dimana semua pengalaman belajar yang akan diperoleh anak diwujudkan dalam bentuk sejumlah kegiatan di dalam dan di luar kelas, sehingga kegiatan anak berpindahpindah dari satu sentra ke sentra lainnya sesuai dengan program, sarana pembelajaran dan suasana belajar yang ingin diciptakan. Suasana kelas yang dinamis, bebas bereksplorasi dalam melakukan otoaktivitas, penjelajahan dan pengembangan minat dengan sistem pengawasan guru yang berpindah-pindah tempat menemani anak beraktivitas. Untuk itu tata letak bangku berkelompok kecil, menyebar dan tidak berorientasi terpusat pada guru, tetapi diharapkan berorientasi pada program aktivitas secara individual atau berkelompok. Pengelolaan ruang kelas dan kegiatan bimbingan merupakan hal penting yang harus diperhatikan oleh guru anak usia dini. Kebijakan yang diambil guru dan bimbingan yang tepat bermanfaat dalam beberapa hal seperti:
(1) mencegah dan mengurangi tingkah laku dan masalah-masalah pengelolaan, (2) memberikan kesempatan
dan merespon keberhasilan pertumbuhan terhadap anak-anak yang mempunyai penyimpang, (3) mendukung
belajar dan pembelajaran yang terjadi dalam situasi di ruang kelas, (4) menumbuhkan harga diri dalam jiwa anak, mengembangkan kemampuan mereka untuk mengambil keputusan dan dapat bertanggungjawab, membantu mereka mengembangkan sikap pengendalian diri dan disiplin untuk diri mereka sendiri, dan menyediakan contoh dari suatu konfl ik masalah.

C. Prinsip Pengembangan Kurikulum
Subandiyah (1996:4) mengemukakan tentang prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang kemudian dimodifi kasi oleh penulis berdasarkan kesesuaiannya dengan pendidikan anak usia dini. Pengembangan kurikulum hendaknya memperhatikan beberapa prinsip berikut ini: 
Relevansi, kurikulum anak usia dini harus relevan dengan kebutuhan dan perkembangan anak secara individu.
Adaptasi, kurikulum anak usia dini harus memperhatikan dan mengadaptasi perubahan psikologis, IPTEK, dan Seni.
Kontinuitas, kurikulum anak usia dini harus disusun secara berkelanjutan antara satu tahapan perkembangan ke tahapan perkembangan berikutnya dalam rangka mempersiapkan anak memasuki pendidikan selanjutnya.
Fleksibilitas, kurikulum anak usia dini harus dipahami, dipergunakan dan dikembangakan secara fleksibel
sesuai dengan keunikan dan kebutuhan anak serta kondisi lembaga penyelenggara.
Kepraktisan dan Akseptabilitas, kurikulum anak usia dini harus memberikan kemudahan bagi praktisi
dan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan pendidikan pada anak usia dini. Dan seterusnya...

Disadur dari Buku Konsep Dasar PAUD Pengarang Yuliani Nurani Penerbit Indeks Jakarta [Bab 11 hal 209]

Kamis, 19 Januari 2017

Desain Anavar Satu-Jalan

Pada bab 8 telah dijelaskan mengenai desain penelitian eksperimental dua-kelompok, yang digunakan untuk membandingkan dua variasi dari sebuah 5B. Bagaimana bila kita akan membandingkan lebih dari dua variasi 5B? Kemudian, mencari tahu manakah variasi VB yang memiliki pengaruh paling kuat terhadap VT? Apakah desain dua-kelompok dapat digunakan untuk menjawab kedua pertanyaan ini?
Misalnya saja, seorang guru mengetahui bahwa ada tiga metode pengajaran, yaitu metode ceramah, metode diskusi, dan metode collaborative learning. Ia ingin mengetahui metode pengajaran apa yang memiliki pengaruh terbesar terhadap prestasi siswa, sehingga akan digunakan pada mata pelajaran yang diajarkannya. Bila ia ingin menjawabnya dengan melakukan penelitian eksperimental, apakah dapat dilakukan desain dua-kelompok?
Dengan menggunakan desain dua-kelompok, maka ada tiga kali penelitian eksperimental yang harus dilakukan. Pertama, membandingkan siswa yang diberikan metode ceramah dengan siswa yang diberikan metode diskusi. Kedua, membandingkan siswa yang diberikan metode ceramah dengan siswa yang diberikan metode collaborative learning. Dan ketiga, membandingkan siswa yang diberikan metode diskusi dengan siswa yang diberikan metode collaborative learning. Kemudian dari setiap penelitian dilakukan analisis statistik seperti desain dua-kelompok terhadap prestasi siswa, yaitu menggunakan uji-t. Dari tiga hasil perhitungan uji-t, dapat diketahui metode yang memberikan pengaruh terbesar terhadap prestasi para siswa dari uji signifikansinya dengan membandingkannya pada tabel. Tabel berikut memberikan hasil dari uji-t penelitian tersebut.

Penelitian
Perbandingan
Signifikansi uji-t
1
ceramah – diskusi
0,00*
2
ceramah – collaborative learning
0,78
3
Diskusi - collaborative learning
0,01*
* signifikan pada los 0,05

Dari tabel di atas, diketahui bahwa ada perbedaan antara metode ceramah dengan metode diskusi terhadap prestasi siswa dan antara metode diskusi dengan metode collaborative learning, namun tidak ada perbedaan antara metode ceramah dengan metode collaborative learning. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa metode diskusi merupakan metode pengajaran yang paling berpengaruh terhadap prestasi siswa, karena metode diskusi selalu menyebabkan hasil uji-t signifikan, sedangkan metode ceramah dan metode collaborative learning tidak berbeda pengaruhnya terhadap prestasi.
Dari contoh di atas, ternyata prosedurnya cukup merepotkan. Untuk membandingkan tiga metode belajar diperlukan tiga kali penelitian eksperimental yang melibatkan dua-kelompok pada setiap penelitiannya. Bila penelitian di atas akan dilakukan di suatu sekolah, maka penelitian ini minimal membutuhkan waktu tiga tahun, karena setiap penelitian eksperimental dilakukan selama satu tahun ajaran. Supaya hasilnya dapat diperbandingkan, maka penelitian selanjutnya juga dilakukan pada tingkat kelas yang sama dengan materi pelajaran yang sama pula. Atau mungkin cara yang lebih praktis, pada tingkat kelas sama dan tahun ajaran yang sama, ketiga penelitian eksperimental tersebut dilakukan bersamaan. Dengan demikian dibutuhkan enam kelompok penelitian, di mana masing-masing metode belajar diberikan pada dua kelas. Kemudian di akhir tahun ajaran, prestasi dianalisis secara statistik dengan uji-t.
Walaupun cara kedua ini dirasakan tidak terlalu merepotkan dibandingkan cara pertama, tetap saja tidak praktis. Ada dua alasan yang mendasari. Alasan pertama, penelitian ini tetap membutuhkan tiga penelitian eksperimental berdesain dua-kelompok yang melibatkan enam kelompok penelitian, hanya untuk melihat perbedaan dari tiga metode pengajaran (tiga variasi VB). Bila kita akan membandingkan enam variasi VB maka dibutuhkan enam penelitian eksperimental berdesain dua-kelompok yang melibatkan dua belas kelompok penelitian. Dilihat dari prosedur penelitian, alangkah sangat tidak praktisnya desain dua-kelompok untuk membandingkan lebih dari dua variasi VB. Selain itu, seringkali jumlah kelas tidak mencukupi untuk melaksanakan penelitian dengan cara tersebut.
Alasan kedua, dilihat dari analisis statistik yang digunakan. Untuk mengetahui signifikansi uji-t yang dihitung (dan juga hasil analisis statistik lainnya), perlu diketahui level of significance (disingkat los). Besarnya los menunjukkan proporsi kemungkinan kesalahan (chance error) yang dapat diterima atau ditoleransi yang terjadi pada hasil penelitian. Misalnya dengan los sebesar 0,05, artinya diharapkan 95% dari perbedaan VT pada kelompok-kelompok penelitian disebabkan oleh VB yang diberikan, sedangkan 5% sisanya disebabkan oleh faktor-faktor di luar VB. Dalam penelitian psikologi, los yang biasa digunakan lebih kecil atau sama dengan 0,05.

Disadur dari Buku Psikologi Eksperimen Karangan Liche Seniati, Aries Yulianto dan Bernadette N. Setiadi Penerbit INDEKS Jakarta. [Bab 9 hal 149]

Rabu, 18 Januari 2017

Hakikat dan Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini

Anak adalah manusia kecil yang memiliki potensi yang masih harus dikembangkan. Anak memiliki karakteristik tertentu yang khas dan tidak sama dengan orang dewasa, mereka selalu aktif, dinamis, antusias dan ingin tahu terhadap apa yang dilihat, didengar, dirasakan, mereka seolah-olah tak pernah berhenti bereksplorasi dan belajar. Anak bersifat egosentris, memiliki rasa ingin tahu secara alamiah, merupakan makhluk sosial, unik, kaya dengan fantasi, memiliki daya perhatian yang pendek, dan merupakan masa yang paling potensial untuk belajar. Pemahaman yang benar tentang hakikat dan landasan penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini hendaknya dimiliki oleh setiap orang yang yang secara langsung maupun tidak langsung akan berhubungan dengan anak usia dini. Dimulai dari lingkungan keluarga dalam hal ini adalah orang tua dan atau pihak lain yang terdekat dengan anak, pendidik di berbagai lembaga pendidikan yang memberikan layanan pada anak usia dini, masyarakat dan juga para pemegang kebijakan mulai dari pemerintah pusat sampai daerah. Diharapkan melalui pemahaman yang benar, para pihak akan dapat memberikan layanan yang seoptimal mungkin bagi anak usia dini. Diharapkan setelah mempelajari bab ini, pembaca dan mahasiswa dapat:
1. Menjelaskan hakikat anak usia dini
2. Menjelaskan landasan penyelenggaraan PAUD
3. Menjelaskan hakikat pendidik anak usia dini
4. Mengidentifi kasikan Lembaga PAUD
5. Menganalisis peran LPTK (S1 PG-PAUD) dalam Menyiapkan Guru/Pendidik Anak Usia Dini di Indonesia.
Berkaitan dengan pencapaian tujuan pembelajaran/indikator di atas, maka selanjutnya akan dipaparkan
topik bahasan tersebut di atas.

A. Hakikat Anak Usia Dini
Anak usia dini adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan dengan pesat dan fundamental bagi kehidupan selanjutnya. Anak usia dini berada pada rentang usia 0-8 tahun (http: www.naeyc.org). Pada masa ini proses pertumbuhan dan perkembangan dalam berbagai aspek sedang mengalami masa yang cepat dalam rentang perkembangan hidup manusia (Berk, 1992:18). Proses pembelajaran sebagai bentuk perlakuan yang diberikan pada anak harus memperhatikan karakteristik yang dimiliki setiap tahapan perkembangan anak. Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berkaitan dengan Pendidikan Anak Usia Dini tertulis pada pasal 28 ayat 1 yang berbunyi “Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan bagi anak sejak lahir sampai dengan enam tahun dan bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar”. Selanjutnya pada Bab I pasal 1 ayat 14 ditegaskan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Depdiknas, USPN, 2004:4). Pendidikan Anak Usia Dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakkan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fi sik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta beragama), bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini (http://id.wikipedia.org/wiki/pendidikan.). Contohnya, ketika menyelenggarakan lembaga pendidikan seperti Kelompok Bermain (KB), Taman Kanak-kanak (TK) atau lembaga PAUD yang berbasis pada kebutuhan anak. Pendidikan bagi anak usia dini adalah pemberian upaya untuk menstimulasi, membimbing, mengasuh dan pemberian kegiatan pembelajaran yang akan menghasilkan kemampuan dan keterampilan anak. Pendidikan bagi anak usia dini merupakan sebuah pendidikan yang dilakukan pada anak yang baru lahir sampai dengan delapan tahun. Pendidikan pada tahap ini memfokuskan pada physical, intelligence/cognitive, emotional, & social education. (http://en.wikipedia,org/wiki/early_childhood_education) Sesuai dengan keunikan dan pertumbuhan anak usia dini maka penyelenggaraan pendidikan bagi anak usia dini disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini. Upaya PAUD bukan hanya dari sisi pendidikan saja, tetapi termasuk upaya pemberian gizi dan kesehatan anak sehingga dalam pelaksanaan PAUD dilakukan secara terpadu dan komprehensif (Depdiknas, Panduan Mengajar di TK/RA,2002:5). Pendidikan pada anak usia dini pada dasarnya meliputi seluruh upaya dan tindakan yang dilakukan oleh pendidik dan orang tua dalam proses perawatan, pengasuhan dan pendidikan pada anak dengan menciptakan aura dan lingkungan dimana anak dapat mengeksplorasi pengalaman yang memberikan kesempatan kepadanya untuk mengetahui dan memahami pengalaman belajar yang diperolehnya dari lingkungan, melalui cara mengamati, meniru dan bereksperimen yang berlangsung secara berulang-ulang dan melibatkan seluruh potensi dan kecerdasan anak. Oleh karena anak merupakan pribadi yang unik dan melewati berbagai tahap perkembangan kepribadian, maka lingkungan yang diupayakan oleh pendidik dan orang tua yang dapat memberikan kesempatan pada anak untuk mengeksplorasi berbagai pengalaman dengan berbagai suasana, hendaklah memperhatikan keunikan anak-anak dan disesuaikan dengan tahap perkembangan kepribadian anak. Contoh: jika anak dibiasakan untuk berdoa sebelum melakukan kegiatan baik di rumah maupun lingkungan sekolah dengan cara yang paling mudah dimengerti anak, sedikit demi sedikit anak pasti akan terbiasa untuk berdoa walaupun tidak didampingi oleh orang tua ataupun guru mereka. Usia dini lahir sampai enam tahun merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian seorang anak. Usia itu sebagai usia penting bagi pengembangan intelegensi permanen dirinya, mereka juga mampu menyerap informasi yang sangat tinggi. Informasi tentang potensi yang dimiliki anak usia itu, sudah banyak terdapat pada media massa dan media elektronik lainnya. Berkaitan dengan PAUD, terdapat beberapa masa yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi bagaimana seharusnya seorang pendidik menghadapi anak usia dini, antara lain masa peka, masa egosentris, masa meniru, masa berkelompok, masa bereksplorasi dan masa pembangkangan. Untuk itu sebaiknya orang tua dan orang dewasa lainnya perlu: (1) memberi kesempatan dan menunjukkan permainan serta alat permainan tertentu yang dapat memicu munculnya masa peka/menumbuhkembangkan potensi yang sudah memasuki masa peka; (2) memahami bahwa anak masih berada pada masa egosentris yang ditandai dengan seolah-olah dialah yang paling benar, keinginannya harus selalu dituruti dan sikap mau menang sendiri, dan sikap orang tua dalam menghadapi masa egosentris pada anak usia dini dengan memberi pengertian secara bertahap pada anak agar dapat menjadi makhluk sosial yang baik; (3) pada masa ini, proses peniruan anak terhadap segala sesuatu yang ada disekitarnya tampak semakin meningkat. Peniruan ini tidak saja pada perilaku yang ditunjukkan oleh orang-orang disekitarnya tetapi juga terhadap tokoh-tokoh khayal yang sering ditampilkan di televisi. Pada saat ini orang tua atau guru haruslah dapat menjadi tokoh panutan bagi anak dalam berperilaku; (4) masa berkelompok untuk itu biarkan anak bermain di luar rumah bersama Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini sama temannya, jangan terlalu membatasi anak dalam pergaulan sehingga anak kelak akan dapat bersosialisasi dan beradaptasi sesuai dengan perilaku dengan lingkungan sosialnya; (5) memahami pentingnya eksplorasi bagi anak. Biarkan anak memanfaatkan benda-benda yang ada disekitarnya dan biarkan anak melakukan trial and error, karena memang anak adalah penjelajah yang ulung; dan juga (6) disarankan agar tidak boleh selalu memarahi anak saat ia membangkang karena bagaimanapun juga ini merupakan suatu masa yang akan dilalui oleh setiap anak.

*Disadur dari buku Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini Penulis Yuliani Nurani Penerbit INDEKS - JAKARTA [Bab 2 hal 4]