Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 Februari 2017

Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia

Hukum Perlindungan Konsumen merupakan masalah yang menarik dan menjadi perhatian Pemerintah Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan yang mengatur hal ini, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perlindungan Konsumen merupakan hal yang sangat perlu untuk terus dilakukan karena berkaitan dengan upaya mensejahterakan masyarakat dalam kaitan dengan semakin berkembangnya transaksi perdagangan pada zaman modern saat ini. Perhatian mengenai perlindungan konsumen ini bukan hanya di Indonesia tetapi juga telah menjadi perhatian dunia. Dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dikatakan, (a) bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945; (b) bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapat kan kepastian atas barang dan/jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen; (c) bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepatian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan/ atau jasa yang diperolehnya di pasar; (d) bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan ke mandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan sikap perilaku usaha yang bertanggung jawab; (e) bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai (f) bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat; (g) bahwa untuk itu perlu dibentuk undang-undang tentang perlindungan konsumen. Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara umum mengatakan, ..“Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan infor matika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/ atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/ jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat ter penuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kua litas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pe laku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada po sisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.” Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Per lindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melaku kan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha, yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan di atas, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat. Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal itu dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerap an sanksi atas pelanggarannya. Undang-undang tentang Perlindungan
Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun ma nusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945. Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti:
  1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undang-undang;
  2. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene; 
  3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah;
  4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
  5. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daft ar Perusahaan;
  6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
  7. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
  8. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri;
  9. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
  10. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);
  11. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
  12. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
  13. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
  14. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang perubahan Atas Undang-undang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987;
  15. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten;
  16. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek;
  17. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
  18. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran;
  19. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;
  20. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAK) tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undang-undang Nomor 13 Tahun 97 tentang Paten, dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek, yang melarang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang melanggar ketentuan tentang HAKI. Demikian juga perlindungan konsumen di bidang lingkungan hidup tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Dikemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang-undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Dengan
demikian, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen. Rumusan Masalah Rumusan masalah Hukum Perlindungan Konsumen berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut adalah sebagai berikut: Bagaimana Pelaksanaan Hukum atau Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia? Atau dengan kata lain: Bagaimana Pelaksanaan Hukum atau Penegakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia?

Maksud dan Tujuan
Maksud penulisan buku ini adalah memberikan gambaran secara menyeluruh atau komprehensif tentang pentingnya pelaksanaan hukum di bidang Perlindungan Konsumen di Indonesia yang sekarang ini secara berkesinambungan dilakukan. Adapun tujuannya adalah memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak terkait baik eksekutif (pemerintah pusat dan daerah), maupun masyarakat pada umumnya tentang bagaimana keadaan dan kondisi yang sebenarnya guna perbaikan dan penyempurnaan pelaksanaan hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan konsumen di Indonesia.

Ruang Lingkup dan Sistematika
Ruang lingkup tulisan ini meliputi pelaksanaan Hukum Perlindungan Konsu men di Indonesia secara menyeluruh berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Metode dan Pendekatan
Metode yang digunakan dalam penulisan naskah ini adalah metode deskriptif analisis, yaitu metode yang dilakukan dengan memberikan gambaran umum dan menyeluruh mengenai pelaksanaan hukum di bidang perlindungan konsumen dimana penelitiannya dilakukan melalui studi kepustakaan dari berbagai referensi atau bahan bacaan yang tersedia serta yang relevan dengan materi yang dibahas. Adapun pendekatan yang digunakan dalam analisis pemecahan masalah ini adalah pendekatan secara komprehensif, integral, holistik, dan sistematik untuk mengungkapkan berbagai fakta atau kenyataan yang berkaitan de ngan pelaksaan hukum atau penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen di Indonesia. Pengertian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 menyatakan,
● Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. 2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dalam Penjelasan Pasal 1 Angka 2 dikatakan,
● Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Negara Pakistan 1995,
● Konsumen atau “consumer” means any person who – (i) buys goods for a consideration which has been paid or partly paid and partly promised to be paid or under any system of deferred payment or hire purchase and includes any user of such goods but does not include a person who obtains such goods for re-sale or for any commercial purpose; or (ii) hires any goods or services for a consideration which has been paid or promised or partly paid and partly promised or under any system of deferred payment and includes any benefi ciary of such services. Dan seterusnya...

Disadur dari Buku Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia Pengarang M. Sadar-Taufik Makarao-Habloel Mawadi Penerbit Akademia Jakarta [Bab 1 hal 1]

Jumat, 20 Januari 2017

Aspek-Aspek Hukum Lingkungan

Aspek-Aspek Hukum Lingkungan
Sebagaimana dikemukakan oleh Koesnadi Hardjasoemantri, bahwa “hukum lingkungan di Indonesia dapat meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
1. Hukum Tata Lingkungan
2. Hukum Perlindungan Lingkungan
3. Hukum Kesehatan Lingkungan
4. Hukum Pencemaran Lingkungan (dalam kaitannya dengan misalnya pencemaran oleh industri, dan sebagainya)
5. Hukum Lingkungan Transnasional/Internasional (dalam kaitannya dengan hubungan antarnegara)
6. Hukum Perselisihan Lingkungan (dalam kaitannya dengan misalnya penyelesaian masalah ganti kerugian, dan sebagainya.)
Aspek-aspek diatas dapat ditambah dengan aspek-aspek lainnya, sesuai dengan kebutuhan perkembangan pengelolaan lingkungan hidup di masa-masa yang akan datang. Hukum lingkungan merupakan bidang ilmu yang masih muda, yang perkembangannya baru terjadi pada dasawarsa akhir ini. Apabila dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai aspek lingkungan, maka panjang atau pendeknya sejarah tentang peraturan tersebut tergantung dari apa yang dipandang sebagai environment concern. Apabila peraturan tentang perumahan termasuk di dalamnya, maka “Code of Hamurabi” dari sekian abad sebelum Masehi merupakan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dengan ketentuannya yang menyatakan, bahwa sanksi pidana dikenakan kepada seseorang apabila ia membangun rumah sedemikian gegabahnya sehingga runtuh menyebabkan cederanya orang lain. Demikian pula dapat dikemukakan adanya peraturan zaman Romawi tentang jembatan air (aqueducts) yang merupakan bukti dari adanya ketentuan tentang teknik sanitasi dan perlindungan lingkungan. Dalam abad-abad akhir ini dapat dikemukakan adanya kasus di Inggris dari abad ke-17 yaitu adanya tuntutan oleh seorang pemilik tanah terhadap tetangganya yang membangun peternakan babi sedemikian rupa, sehingga baunya dibawa angin ke arah kebun si pemilik tanah. Dalam abad ke-18 dapat ditemukan peraturan-peraturan yang ditujukan kepada dikeluarkannya asap yang berkelebihan, baik dalam perundang-undangan Inggris maupun Amerika. Dalam abad ke-19, dengan menghebatnya revolusi industri, banyak peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan memuat ketentuan-ketentuan mengenai pengendalian asap, mengenai gangguan-gangguan yang ditimbulkan, mengenai pencemaran air, dan terutama di Inggris dengan adanya “gerakan sanitasi” juga ketentuan-ketentuan mengenai pembuangan dari tinja dan sampah. Telah dimulai dengan dikeluarkannya secara sistematis peraturanperaturan tentang hygiene perumahan. Dengan adanya penemuan-penemuan baru dalam bidang medis, telah dikeluarkan pula peraturan-peraturan tentang memperkuat pengawasan terhadap epidemi dan untuk mencegah menjalarnya penyakit di kota-kota yang mulai berkembang dengan pesat. Dengan demikian telah diletakkan dasar historis yang kuat untuk pengaturan lingkungan hidup melalui tindakan pemerintah guna melindungi kesehatan masyarakat. Namun demikian, sebagian besar dari hukum, baik berdasarkan perundangundangan maupun berdasarkan keputusan-keputusan hakim, yang berkembang sebelum abad ke-20, tidaklah ditujukan untuk melindungi lingkungan hidup secara menyeluruh, akan tetapi hanyalah untuk berbagai aspek yang menjangkau ruang lingkup yang sempit. Perkembangan yang berarti yang bersifat menyeluruh dan menjalar ke berbagai pelosok dunia dalam bidang peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup terjadi setelah adanya Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia di Stockholm pada tahun 1972.

Pengertian Hukum Lingkungan
St. Moenadjat Danusaputro membedakan antara Hukum Lingkungan modern yang berorientasi kepada lingkungan atau environment-oriented law dan Hukum Lingkungan klasik yang berorientasi kepada penggunaan lingkungan atau use-oriented law. Hukum Lingkungan modern menetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus-menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi-generasi mendatang. Sebaliknya Hukum Lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma-norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin, dan dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya. Hukum lingkungan modern berorientasi kepada lingkungan, sehingga sifat dan wataknya juga mengikuti sifat dan watak
dari lingkungan itu sendiri dan dengan demikian lebih banyak berguru kepada ekologi. Dengan orientasi kepada lingkungan ini, maka Hukum Lingkungan modern memiliki sifat utuh-menyeluruh atau komprehensifintegral, selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes, sedang sebaliknya Hukum Lingkungan klasik bersifat sektoral, serba kaku dan sukar berubah. Drupsteen mengemukakan, bahwa Hukum Lingkungan (Milieurecht) adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (natuurlijk milieu) dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Dengan demikian hukum lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan terutama oleh pemerintah, maka hukum lingkungan sebagian besar terdiri atas hukum pemerintahan (bestuursrecht). Di samping hukum lingkungan pemerintahan (bestuurrechtelijk millieurecht) yang dibentuk oleh pemerintah pusat, ada pula hukum lingkungan pemerintahan yang berasal dari pemerintah daerah dan sebagian lagi dibentuk oleh badan-badan internasional atau melalui perjanjian dengan negara-negara lain. Demikian pula terdapat
hukum lingkungan keperdataan (privaatrechtelijk millieurecht), hukum lingkungan kepidanaan (strafrectelijk milieurecht), sepanjang bidang-bidang Dan seterusnya...

Disadur dari Buku Aspek-Aspek Hukum Lingkungan Pengarang Mohammad Taufik Makarao Penerbit INDEKS Jakarta [Bab 1 hal 1]