Tampilkan postingan dengan label Komunikasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Komunikasi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 Januari 2017

Sejarah Reportase

Pengertian dan Sejarah Reportase
Reportase adalah suatu laporan yang dilakukan oleh reporter atau wartawan mengenai suatu peristiwa yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri (on location). Karena itu, reportase diidentifikasikan sebagai laporan pandangan mata (eye witness report), yaitu laporan yang disiarkan langsung saat peristiwa sedang berlangsung (as it happens). Reportase bisa juga mengandung pengertian melaporkan suatu kejadian, tapi baru disiarkan kemudian, dan kalau perlu sesudah disusun kembali (delayed broadcast, after event broadcast) atau disiarkan setelah disunting kembali (re-edit) sekaligus ditambah dengan efek suara (sound effect). Dilihat dari segi pemberitaan, reportase pada hakikatnya adalah suatu berita. Namun, beritanya sangat panjang dan diberitakan pada waktu peristiwanya sedang berlangsung. Sejarah reportase radio berawal pada tahun 1920-an saat peristiwa pemilihan umum di Amerika Serikat yang mengusung pasangan calon Presiden Harding-Cox. Saat itu khalayak tidak perlu menunggu berita-berita seputar pemilu melalui surat kabar keesokan harinya. Sebab, berbagai hal seputar pemilihan pasangan presiden itu disiarkan langsung oleh stasiun radio WWJ di Detroit dan KDKA di Pitsburgh. Begitu juga dengan ajang kompetisi olahraga yang mulai mendapat perhatian dari stasiun-stasiun radio pada waktu itu. Peristiwa itu merupakan salah satu cara menarik khalayak untuk selalu mendengarkan siaran radio.

Kerja Sama Surat Kabar dengan Siaran (Radio Broadcast)
Dampak haus informasi bagi khalayak pendengar pada waktu itu juga mendapat perhatian para jurnalis media cetak. Mereka menginginkan hasil kerja liputan reporter cetak juga menempati hati khalayak pendengar. Karena itu, para jurnalis surat kabar pun terdorong untuk menyajikan berita secara utuh. Mereka juga menyadari kekurangan tenaga reporter radio, sehingga memperbolehkan stasiun radio menyiarkan hasil liputan surat kabar. Selanjutnya, penyiar maupun reporter stasiun radio tinggal membacakan atau menyiarkan isi surat kabar. Berita yang dimuat di surat kabar disiarkan secara utuh oleh stasiun-stasiun radio tanpa lupa menyebutkan nama reporter surat kabar yang menulis berita itu. Pendengar radio rupanya lebih tertarik mendengarkan siaran iklan dan program yang menyangkut kehidupan, seperti perkawinan, kelahiran, kematian, dan yang tak kalah menariknya adalah harga-harga pasar yang ditunggu-tunggu oleh para ibu. Pendengar khusus ibu-ibu ini bisa bekerja mengurus rumah tangga sambil menikmati siaran radio.

Perbedaan Reportase Siaran dan Cetak
Reportase televisi lebih banyak mengerahkan personel, terutama tenaga teknisi dengan biaya lebih mahal dan lebih rumit, karena laporan langsung atau laporan pandangan mata atau siaran di luar studio (outside broadcast) melibatkan sejumlah personel, reporter dan teknisi, serta sebuah mobil yang dilengkapi dengan perangkat teknik siaran OB Van (outmobile van). Jadi, jika seorang reporter ingin agar reportase yang ia sampaikan dapat diterima dan dimengerti, maka ia harus benar-benar mengetahui:
a. watak media yang digunakan (kelebihan dan kelemahannya),
b. bahasa atau lambang yang digunakan, dan
c. kondisi pendengar atau pembaca.

Siaran Radio Dianggap Pesaing oleh Surat Kabar
Perbedaan media siaran dan cetak menghasilkan kerugian dan keuntungan dalam hal publikasi. Pendengar radio tidak terbatas pada ruang dan waktu, sedangkan pembaca surat kabar harus menyediakan waktu khusus untuk menelaah isinya. Mendengarkan suara penyiar yang menyampaikan harga beberapa bahan pokok dapat diperoleh dengan harga murah. Informasi musibah berupa berita kecelakaan juga dapat menggugah pendengar. Akibatnya, khalayak pada saat itu lebih suka mendengarkan siaran radio daripada berlangganan surat kabar. Terlebih karena semua isi surat kabar terbitan hari itu juga disiarkan seluruhnya oleh stasiun-stasiun radio. Pengaruh lain bagi surat kabar adalah menurunnya jumlah pelanggan secara drastis. Perusahaan-perusahaan surat kabar mulai mengeluh terhadap penurunan yang sangat mencolok itu. Akibatnya, para pengusaha surat kabar mulai membatasi, bahkan melarang isi korannya dibacakan melalui radio. Para pengelola stasiun-stasiun radio tidak tinggal diam. Untuk mempertahankan pelayanan kepada khalayak, mereka kemudian berupaya mencari sendiri informasi dari berbagai peristiwa yang aktual tanpa surat kabar yang semula menjadi salah satu sumbernya. Di akhir tahun 1934, kantor-kantor pelayanan berita melihat kejadian yang dialami pengelola stasiun radio sebagai peluang. Mereka menyarankan stasiun radio agar memanfaatkan berita-berita hasil liputan kantor berita, seperti United Press (UP), International News Service (INS), dan Associated Press (AP). Status radio sebagai sumber berita mencapai puncaknya ketika pecah Perang Dunia II (PD II). Laporan dan wawancara di lapangan berikut komentarkomentarnya membawa PD II masuk ke rumah penduduk di seluruh negeri. Berbeda dengan Perang Dunia I ketika media radio yang baru muncul hanya digunakan untuk kebutuhan militer, selama PD II media ini merupakan alat penghubung antara keluarga di rumah dengan mereka yang ada di medan perang di seluruh dunia. Selanjutnya, kehadiran televisi sangat berpengaruh pada penyajian berita radio. Selama sepuluh tahun, sekitar tahun 1940-an sampai 1950-an, sajian berita radio mengalami perubahan bentuk. Saat itu berita-berita di radio hanya menyajikan informasi lokal. Sedangkan tahun 1970-an dan 1980-an, penyebaran berita lokal maupun dunia mencapai pendengar radio terlebih dulu. Jadi, untuk sementara, pendengar radio lebih cepat memperoleh informasi dibandingkan dengan pembaca media cetak. Namun, persaingan itu tidak berlangsung lama. Pengelola media radio dan cetak menyadari kalau keduanya memilik persamaan, yakni sama-sama bergerak di bidang jurnalistik dengan mempublikasikan berbagai informasi kepada khalayak. Persamaan itulah yang mendorong terjalinnya kembali kerja sama di antara keduanya. Perbedaaannya hanya terletak pada pola penyajian informasi kepada khalayak. Radio masih dan akan bertahan sebagai sarana komunikasi massa terpenting di tengah maraknya siaran-siaran televisi saat ini. Kemajuan teknologi pun memungkinkan hadirnya media lain yang tidak kalah cepatnya dengan radio, seperti hadirnya internet yang dapat menyajikan laporan berita aktual. Namun, dari segi kecepatan, radio tetap lebih unggul. Seseorang baru bisa memperoleh informasi dari internet setelah melalui proses dan program tertentu. Jadi, radio memang memiliki beberapa karakter yang dapat membedakannya dengan media lain. Berikut adalah keunggulan dan kelemahan radio (Maeseneer, AIDB).

Disadur dari Buku Reportase Radio Pengarang Helena Olii Penerbit Indeks Jakarta [Bab 1 hal 1]

Rabu, 25 Januari 2017

Opini Publik

Kebebasan Mengeluarkan Opini
Opini publik merupakan salah satu kekuatan sosial yang secara langsung maupun tidak langsung, dapat menentukan kehidupan sehari-hari suatu bangsa. Opini publik juga merupakan “penghubung” antara kehidupan sosial dan kehidupan politik manusia, juga merupakan bidang antara kehidupan sebagai makhluk sosial dan warga negara suatu bangsa. Selain itu, opini publik banyak digunakan media massa maupun kaum politisi dan pemerintah-pemerintah untuk memperoleh dukungan masyarakat terhadap program kerjanya. Salah satu peranan penting opini publik dalam proses pembentukan suatu undang-undang bahkan dalam menanamkan tertib hukum dan kesadaran hukum. Suatu rancangan undangundang dapat saja ditetapkan sebagai undang-undang, namun bila tidak dihayati warga negaranya, maka tertib hukum tersebut akan kurang terasa manfaatnya untuk masyarakat yang bersangkutan. Kemungkinan kurang informasi yang dimiliki opini publik tentang fungsi hukum dalam mempertahankan eksistensi suatu bangsa melalui penaatan terhadap hukum makin terbuka tempat atau forum pengeluaran opini ini dan juga makin banyak kemungkinan orang melanggar hukum.

Pikiran para Pakar Filsafat tentang Kebebasan Mengeluarkan Opini
Manusia dalam hidupnya mempunyai dua tujuan kepentingan,
1. Kepentingan pribadi (self interest) dan
2. Kepentingan kelompok (social interest)
Kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok memiliki hubungan sangat erat, sehingga sulit memisahkan kedua kepentingan itu. Bisa saja seseorang menyatakan bahwa ia melakukan sesuatu demi social interest-nya, namun kenyataannya, juga merealisasi self interest. Manusia hidup sebagai makhluk sosial, hidup dalam masyarakat yang mempunyai bermacam-macam keperluan pokok. Adanya kebutuhan dalam masyarakat, menyebabkan terjadinya komunikasi. Komunikasi yang harmonis didasarkan atas tumpang tindih kepentingan, untuk itu harus diketahui kerangka berpikir (frame of reference) dan data tentang pengalaman (field of experience) komunikan dan komunikator sendiri. Untuk itu, manusia memerlukan komunikasi sebagai alat pemenuhan kebutuhan, yaitu pertama-tama kebutuhan mental. Atas dasar itu, manusia berusaha mengeluarkan opininya Pada awal abad 17 sampai dengan abad ke-19, paham liberalisme, kemerdekaan mengeluarkan pendapat adalah demi kebenaran atau kebebasan akan membantu orang dalam menemukan kebenaran. Sisa-sisa filsafat liberalisme masih ada bahkan dipertahankan, sehingga umumnya setiap undang-undang negara manapun mempunyai pasal tentang kebebasan mengeluarkan opini. Indonesia mempunyai pasal 28 UUD-45, sedangkan dalam Declaration of human Right (1948), kebebasan tercantum dalam pasal 19. Kebebasan mengeluarkan opini dipertahankan demi kebenaran. Beberapa aliran meninjau kebenaran:
1 . Coherence theory, antara opini-opini yang dimiliki seseorang harus ada kesesuaian. Hal itu merupakan satu kesatuan bulat. Teori ini merupakan landasan berkembangnya ideologi-ideologi pada abad ke-19, sehingga seakan-akan teori ini hanya membenarkan opini sendiri dan menyalahkan opini orang lain. Dilihat dari ilmu jiwa sosial yang menyalahkan coherence theory ini, ternyata dalam diri manusia terdapat banyak opini dan norma-norma yang bertentangan satu sama lain yang membuatnya tak dapat diramalkan. 
2 . Correspondence theory, pernyataan manusia harus sesuai kenyataan. Teori ini merupakan landasan filsafat, opini yang menang adalah opini yang benar. Ilmu Jiwa Sosial banyak digunakan dalam memenangkan suatu opini, maka kebenaran teori ini disangsikan.
3. Pragmatisme, yang tumbuh pada akhir abad 19 dan disebarkan oleh William James hasil dari penelitian John Dewey di AS. setelah PD II populer kembali, menurutnya pemikiran kebenaran tetap dicari, karena orang mudah keliru. Pragmatisme sangat hati-hati menyatakan sesuatu itu benar, jadi teori ini menyatakan semua opini adalah relatif. Pemikiran ini tidak tergolong pragmatisme. Justru pragmatisme sebaliknya berpegang pada prinsip manusia bertanggung jawab atas opini-opininya, karena opini adalah penggerak dari tindakan. 
Opini seseorang adalah hasil pengalamannya, yang diajarkan kepadanya. Karena itu pragmatisme sangat menitikberatkan kepada pendidikan dalam mencari kebenaran, harus dapat dibuktikan sebagian benar pada masa lampau, sekarang dan masa depan. Dalam hal ini, pragmatisme menjelaskan pengaruh norma-norma pada manusia yang akan menentukan masa depannya, khusus pikiran individunya. Namun, bukan berarti manusia hanyalah hasil dari masa lampaunya, manusia mempunyai cita-cita yang mendorong dia untuk maju. Semua pikiran dan tindakan menusia diarahkan pada perwujudan citacita, dan tergantung pada kemampuan individu itu seberapa cepat atau lambat dia mencapainya. Bagaimana jika pragmatisme ditinjau dari segi masyarakat? Ternyata di dalam masyarakat tidak ada kebenaran yang mutlak bagi individu, karena kebebasan adalah juga hak-hak anggota masyarakat lain. Pada kenyataannya secara objektif bagi individu, dia dalam mencapai cita-cita terikat oleh “ self-discipline-nya” untuk menghormati kebebasan orang lain. Jadi, kemungkinan individu berbeda bahkan bertentangan cita-citanya dengan cita-cita individu lainnya, sehingga dalam masyarakat sering terjadi konflik. Proses verifikasi kedua kelompok seniman dan agamais, tidak lain adanya perbedaan dari kenyataan dengan cita-cita, atau bagaimana sebaiknya mencapai cita-cita yang dianggap benar. Kebenaran dapat dicapai dengan diskusi, maka pragmatisme mempunyai sasaran menggunakan pertukaran pikiran untuk mencapai:
a) Manusia bertanggung jawab;
b) Manusia yang hidup dengan sadar;
c) Manusia yang setiap kali mengadakan verifikasi dan intropeksi.

Dari faktor-faktor ini, tampaknya pragmatisme adalah sangat rasional.
4. Pendapat John Locke dan Leibnitz
Leibnitz mengatakan kebenaran diperoleh dari analisa dan sintesa, sedang Locke mengatakan ada tiga fase kebenaran yakni:
a) Intuition, merupakan tingkat kebenaran yang paling murni dan mendekati kebenaran mutlak. Menurut Locke, orang mempunyai perasaan, sesuatu itu benar atau salah;
b) Demonstration, merupakan pembuktian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan;
c) Perception, didasarkan pada hasil indera. Bentuk ini paling kecil kemungkinan kebenarannya, karena didasarkan pada indera.

Penilaian tentang Kebenaran Opini dan Norma-norma
Mengapa orang memperjuangkan dan mempertahankan kebebasan opini? Karena kebebasan mengeluarkan opini demi memperjuangkan kebenaran. Namun, kebenaran ditentukan oleh norma-norma yang dianut masyarakat sesuai tempat, zaman dan waktunya. Membahas suatu masalah secara tidak langsung juga membahas standar opini atau opini publik. Norma adalah nilai standar tentang baik buruk tindakan dan opini seseorang yang selalu diukur dan dinilai baik buruknya. Nilai dan sistem nilai masyarakat (= sistem norma) pada akhirnya akan menentukan nilai dan derajat kebenaran suatu opini. Jadi dengan norma saja, kebebasan mengeluarkan opini sudah mengalami batasan alaminya. Kebebasan mengeluarkan opini akan diizinkan dan ditoleransi selama tidak bertentangan dengan norma-norma kelompok dalam masyarakat. Misalnya, foto bugil Anjasmara yang dimuat di media massa, surat kabar dan televisi(2005), foto ini sekadar dokumentasi untuk museum dan bukan untuk dipublikasikan sehingga tidak jadi masalah pemotretan itu dan tidak berarti apa-apa. Tetapi sebaliknya, menimbulkan kemarahan masyarakat melihat adanya perbedaan situasi foto terbatas yang dianggap punya nilai seni dan masuk dalam media massa (surat kabar dan televisi) yang dinilai murahan. Banyak pembaca surat kabar menyesalkan, seorang artis yang dalam sinetron yang hampir selalu berperan sabar dalam kehidupan sederhana, tiba-tiba berubah dalam penampilan, yang menimbulkan pro dan kontra. Jadi, jelas norma berbeda dari, Dan seterusnya....

Disadur dari Buku Opini Publik Pengarang Helena Olii Penerbit Indeks Jakarta [Bab 1 hal 1]

Senin, 23 Januari 2017

Memahami Cara Kerja Pers

Cara Kerja Pers
Tugas wartawan adalah mencari dan mengumpulkan informasi kemudian menuliskannya menjadi sebuah berita. Berita adalah laporan tentang satu peristiwa yang telah ataupun sedang terjadi, yang memerhatikan dan mengedepankan sisi kemanusiaan serta menarik perhatian sebagian besar pembaca/pendengar/penontonnya. Informasi yang ditulis menjadi berita tentunya bukan sekedar informasi dan data semata, tapi informasi dan data yang dapat dijual. Artinya informasi yang akan ditulis menjadi berita harus memiliki nilai berita, aktual, dan memberi manfaat yang tinggi bagi pembacanya. Guna mendapatkan berita yang bernilai jual, apa saja akan dilakukan wartawan sejauh itu sesuai dengan kode etik jurnalistik dan bermanfaat untuk diketahui masyarakat. Untuk memperoleh informasi yang akan menjadi berita tersebut wartawan akan mendatangi tempat terjadinya peristiwa dan akan bertanya kepada berbagai saksi yang dianggap mengetahui terjadinya peristiwa. Mungkin wartawan tersebut menemui orang-orang yang akan menjadi sumber informasi atas berita yang akan ditulisnya. Sumber informasi ini disebut sumber berita. Pendapat atau keterangan sumber berita inilah yang akan wartawan jadikan berita. Bila seseorang dipilihnya menjadi sumber berita, maka akan diusahakannya untuk memperoleh keterangan darinya. Memang dengan alasan masyarakat memiliki hak untuk tahu dan selama ini selalu menjadi alasan wartawan memaksa sumber berita memberikan keterangan. Namun, itu bukan kewajiban orang tersebut untuk memberikan keterangan. Meskipun, menolak untuk dimintai keterangan adalah hak kita, dalam tradisi jurnalistik tetap akan membawa dampak. Dampaknya bisa positif, bisa pula negatif. Menolak diwawancara bisa positif bila terlalu singkat waktu untuk memberikan jawabannya, sementara kita sendiri belum memiliki data yang akurat untuk disampaikan kepada wartawan. Selain itu, dinilai positif bila wartawan yang akan mewawancarai itu selama ini dikenal sebagai wartawan yang selalu menulis secara negatif, atau wartawan itu kebetulan dari koran kuning atau koran gosip. Namun, jika
wartawan dari media yang selalu mengutamakan keakuratan, terpercaya dan kritis, jika kita menolak memberikan kesempatan wawancara, maka bisa berakibat negatif. Wartawan tersebut dapat mencari sumber berita lain yang belum tentu memiliki kapabilitas untuk mengupas masalah yang “dicari”-nya. Sang wartawan bisa melakukan konfirmasi yang salah alamat. Jika ia melakukan konfirmasi pada pegawai, pegawai yang tidak memiliki kompetensi untuk memberikan keterangan, ini termasuk bagian dari bahaya menolak permintaan wawancara. Apalagi bila berita sudah terlanjur dipublikasikan. Hak yang kita miliki hanya hak jawab. Padahal hak jawab hanya menempati pojok sempit dari halaman koran yang belum tentu dibaca mereka yang membaca berita negatif sebelumnya. Oleh sebab itu, sebaiknya permintaan wawancara Anda penuhi. Berikan kesempatan wartawan mewawancarai Anda. Atau bila kita belum siap, kita sarankan padanya untuk menemui sumber berita lain di perusahaan Anda yang Anda nilai memiliki kompetensi dalam melayani pers. Guna menghindari kesalahan, kita bisa melakukan pengulangan kembali dari apa yang kita sampaikan pada pers saat wawancara, yaitu semacam kesimpulan, yang diucapkan kembali untuk menghindari salah kutip. Namun, meski kita telah berhati-hati dalam memberikan keterangan pers, tidak ada jaminan 100 % kita tidak akan kecewa saat membaca beritanya keesokan harinya. Selalu ada peluang atau selalu ada kemungkinan berita yang ditulis mengandung bias dan kekeliruan. Salah satunya adalah karena dalam pemilihan judul, media selalu menyandarkan diri pada headline yang eye catching, menarik mata. Didasarkan pada isi berita secara keseluruhan, judul berita akan diperhalus atau dipertegas, hal ini biasanya dilakukan oleh editor. Untuk meningkatkan daya tarik sebuah berita, editor juga melakukan penekanan dengan mengganti kalimat yang digunakan wartawannya dengan kalimat baru yang dirasanya akan memberikan kesan yang lebih kuat. Di sisi lain, ia juga melakukan pemangkasan terhadap kalimat yang dirasanya kurang menggigit. Padahal bukan tidak mungkin, kalimat yang dihapus itulah kalimat yang kita inginkan untuk di-stressing (ditekankan) oleh wartawan tersebut. Ada satu hal yang perlu diingat. Kerap terjadi pimpinan atau humas memberikan informasi yang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan pers. Waspadalah. Memahami kebutuhan wartawan 80 persen akan memberikan hasil yang positif untuk lahirnya berita yang positif buat perusahaan. Kenapa demikian ? Tidak semua informasi dan data bisa jadi berita. Jadi tugas merekalah yang akan meracik data tersebut agar memiliki news value. Bahaya dapat muncul antara lain karena bias dan distorsi. Tentu saja ini dapat merugikan perusahaan. Itu sebabnya yang dibutuhkan pers adalah kemampuan pemahaman petugas akan spesifikasi masing-masing media. Petugas humas juga harus tahu cara kerja masing-masing media, sehingga bisa memberikan berita yang sudah matang dan sesuai keinginan media. Wartawan yang baik akan senang sekali bila tulisannya tidak bermasalah, sebab hubungan baik yang dibina bukan saja menguntungkannya, melainkan arus informasi akan lancar dan tidak merugikan perusahaan, dan tanggung jawab moral untuk membuat berita yang tidak merugikan masyarakat juga terpenuhi. Namun, kalau salah satu yang harus dipilih, wartawan akan memilih berita yang tidak merugikan masyarakat tentu saja. Selain mencari fakta dan latar belakang fakta, wartawan juga mencari perkembangan fakta. Tidak jarang, kita sudah kesal dengan berita tersebut berusaha untuk melupakan agar berita itu jangan sampai diangkat lagi. Namun, karena para wartawan mengutamakan continuity maka mereka terus mencari-cari Anda. Untuk itu, Anda harus mengetahui perlunya memberikan informasi yang tuntas, agar mereka tidak terus penasaran, memang berisiko. Prinsip kita adalah tidak bisa mengungkap semua fakta, karena nasihat not to tell the all truth. Jika demikian, apa pedoman kita? Pahami cara kerja pers. Beradaptasilah dengan cara kerja mereka. Dari situ minimal Anda akan memperoleh insight (wawasan atau pengertian dan pengetahuan yang dalam) tentang yang terbaik untuk pers dan juga terbaik untuk kita. Berikut ini akan diuraikan secara lebih rinci cara kerja pers tersebut.

Pekerjaan Wartawan
Pekerjaan wartawan adalah mencari informasi berupa fakta atau opini yang didukung data, yang kemudian diolah, dan dikembangkan menjadi berita. Mereka digaji untuk itu. Bila tidak ada fakta (peristiwa atau kejadian) yang dapat mereka temui, maka mereka harus kreatif dan terus mencari. Mereka harus menciptakan dari tidak ada menjadi ada. Dari tidak ada berita menjadi ada berita. Fakta sekecil apa pun harus mereka ciptakan jadi berita. Untuk itu mereka dibekali tools atau alat berupa pertanyaan yang terdiri dari 5W + 1H. Dengan 6 pertanyaan ini (What, Who, When, Why, Where, serta How) mereka membangun berita. Jangan heran jika setiap hari ada saja berita yang dimuat media cetak (koran dan majalah) serta media elektronik (radio dan televisi) termasuk internet. Kini dengan semakin ketatnya persaingan industri media, agar mereka tidak tergilas satu sama lainnya, media melakukan berbagai peningkatan mutu pemberitaan. Tujuannya, pembaca terpuaskan dan tetap setia berlangganan media cetak atau mendengar dan menyaksikan acara yang ditayangkan untuk media elektronik. Salah satu upaya mereka adalah mereka selalu menetapkan satu tema atau satu topik liputan dalam setiap harinya. Tujuannya, selain meningkatkan mutu, juga memandu wartawan dan reporter dalam melakukan peliputan. Untuk itu sang wartawan tidak kehabisan amunisi saat menulis beritanya. Pada malam hari, redaktur mereka menetapkan TOR (Term Of Reference) tentang berita yang akan diangkat besok. Penetapan proyeksi berita atau TOR dalam media TV biasanya jam 19.00, koran atau media cetak jam 18.30. Namun demikian, di media lain penentuan jamnya sangat
tergantung pada Korlip (koordinator liputan) atau hasil rapat redaksi yang akan membahas berita besok. Pada media televisi yang penyebaran reporternya sangat tergantung pada ketersediaan kamera dan kamerawan, maka dalam memproyeksikan berita mereka, mereka menetapkan atas dasar pertimbangan adanya ‘undangan’, itu pertama, dan kedua pada ‘berita yang harus dicari’. Selanjutnya dari dua pertimbangan tersebut mereka menetapkan isu yang harus dikembangkan reporternya lebih jauh. Itulah sebabnya meski dalam undangan kita menetapkan perihal acara yang akan dilakukan pada hari tersebut, namun wartawan tetap bertanya kepada sumber beritanya yang terkadang tidak bersinggungan sama sekali dengan substansi acara pada pagi, siang, atau malam itu. Ini karena isu yang sudah ditentukan jajaran redaksi sebelumnya, dikembangkan lebih lanjut di lapangan oleh wartawannya. Kemudian sekadar tambahan informasi, karena media TV sangat tergantung pada ketersediaan kamera dan kamerawan, setelah Korlip membuat proyeksi dan menetapkan tim yang akan berangkat meliput pada esok harinya, mereka menetapkan kebijakan adanya tim cadangan yang stand by di kantornya (TV). Ini maksudnya untuk mengantisipasi kalau-kalau terjadi satu peristiwa besar yang memiliki nilai berita tinggi, sehingga mereka tidak kehilangan moment berharga. Dan seterusnya....

Processing Berita
Setelah berita masuk, apa yang dilakukan terhadap berita tersebut? Sebelum diproses, berita yang masuk harus melalui proses seleksi dulu. Berita mana yang lolos dan yang tidak. Selanjutnya dalam menyeleksi berita, jika media TV sangat tergantung pada gambar dan sumber beritanya, maka media cetak sangat tergantung pada kedalaman materinya. Kedalaman materi tersebut terkait dengan data yang lengkap dan akurat juga terkait dengan aktualitas. Dengan kata lain, informasi yang disajikan harus selalu up to date. Kedalaman materi ini perlu bagi media cetak karena biasanya berita yang mereka ungkap sudah diungkap lebih dulu oleh media televisi atau radio. Jadi, mereka yang membaca surat kabar atau koran adalah mereka yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang berita yang mereka konsumsi dari media radio atau televisi. Berita yang masuk ke meja redaksi media cetak selanjutnya harus melalui proses editing. Secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut : Berita ditulis wartawan. Selanjutnya berita tersebut akan diperiksa editor. Pemeriksaan menyangkut kelengkapan data, penentuan gaya bahasa, dan gaya bertuturnya agar sesuai dengan policy medianya. Di sini editor mengadakan beberapa pengeditan agar berita tersebut lebih bernas, lebih bernilai jual. Setelah diedit, selanjutnya berita tersebut masuk ke redaktur bahasa untuk diperiksa bahasanya agar sesuai dengan ejaan yang benar dan baku. Pengecekan terhadap kesalahan pengetikan dilakukan, termasuk penggunaan istilah–apakah istilah atau definisi yang dipergunakan sudah benar. Tahapan selanjutnya berita tersebut akan masuk ke meja editor malam. Prosesnya sama dengan yang dilakukan editor tadi. Namun, di sini penekanannya sudah pada seleksi. Semacam seleksi alam. Pada
proses ini ditentukan berita yang harus disingkirkan yang bisa dimuat. Di sini perlu diinformasikan, meski Anda memberikan keterangan pers yang panjang dan lengkap, keesokan harinya berita bisa turun semua, bisa hanya sedikit atau malah bisa pula sama sekali tidak diturunkan. Ini berdasarkan penetapan editor malam, berita tentang perusahaan Anda kalah nilai beritanya dibanding berita lain. Dengan kata lain, berita Anda bisa dimuat keesokan harinya lagi, atau malah sama sekali drop, tidak
dimuat karena masih tertimpa peristiwa lain yang lebih bernilai jual. Itu pula sebabnya Anda perlu mengetahui prinsip ini. Anda berhak mengundang pers, tapi pers tidak punya kewajiban memuat berita Anda– terutama bila berita Anda dalam kaca mata redaksi tidak bernilai jual. Dan Seterusnya...

Disadur dari Buku Media Relations Pengarang Zainal Abidin Partao Penerbit Indeks Jakarta [Bab 5 hal 47]

Kamis, 19 Januari 2017

Teknik Lobi dan Diplomasi

Mengapa Perlu Belajar tentang Lobi?
Pengetahuan tentang lobi tidak hanya perlu dikuasai  mahasiswa jurusan komunikasi, tetapi perlu juga dipelajari mahasiswa dari semua jurusan. Mengapa demikian? Sebab, pada akhirnya, semua mahasiswa akan terjun ke masyarakat baik sebagai anggota masyarakat pada umumnya, maupun menjadi bagian dari organisasi yang berhubungan dengan berbagai pihak.  Mereka dapat berperan sebagai pimpinan organisasi atau berperan sebagai anggota biasa.  Organisasi yang akan menjadi tempat mahasiswa bergabung dapat berbentuk organisasi pencari laba (perusahaan) dan bisa juga organisasi nirlaba (organisasi sosial kemasyarakatan yang tidak mencari laba) seperti organisasi politik, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Lembaga bantuan konsumen dan sebagainya.   
Apa pun peran mahasiswa ketika sudah terjun ke masyarakat, organisasi atau perusahaan tempat mereka tergabung harus berhubungan dengan masyarakat, pemerintah, maupun dengan organisasi lain. Kadangkala mereka dituntut mewakili perusahaan berhubungan dengan pihak luar (supplier) yang memasok kebutuhan organisasi atau perusahaan, dan sebagainya.  Pada saat organisasi, atau perusahaan, ini tengah melakukan hubungan dengan organisasi atau perusahaan lain, di situlah mereka berperan menjadi juru bicara, sebagai wakil organisasi atau perusahaan yang berusaha mewujudkan tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan organisasi atau perusahaan.
Bila mereka terjun ke perusahaan sebagai karyawan, mereka akan mewakili perusahaan tersebut untuk berhubungan dengan berbagai pihak yang menjadi stakeholder perusahaan. Mereka harus memperjuangkan kepentingan perusahaan saat berhubungan dengan stakeholder tersebut.
Sebaliknya, bilamana mereka terjun sebagai wiraswastawan murni, mereka pun  harus berhubungan dengan stakeholder juga. Sebagai contoh, mereka harus bekerja sama dengan pemerintah ketika  harus mengurus perizinan. Baik itu untuk izin pelaksanaan ekspor-impor buat perusahaan eksportir, mengurus izin lokasi, izin mendirikan bangunan, sertifikat HGB, dan sebagainya tergantung dari perusahaan yang diwakilinya. 
Dalam hal ini, fungsi lobi diperlukan untuk melengkapi berbagai upaya organisasi atau perusahaan dalam memeroleh perizinan dan hal yang terkait dengan pihak luar. Memang dalam mengurus seluruh aspek perizinan misalnya, dapat dilakukan melalui pertemuan formal berupa rapat, diskusi dan sebagainya. Namun, tidak setiap pertemuan formal dapat menghasilkan kesepakatan, menghasilkan surat izin yang dibutuhkan perusahaan. Pada situasi demikianlah lobi sangat dibutuhkan. Lobi adalah salah satu bentuk kegiatan komunikasi yang bersifat informal yang dilakukan guna memeroleh hasil sebagaimana yang diharapkan  organisasi ataupun perusahaan. 
Kemampuan melobi ini akan memberi hasil jauh berlipat ganda, jika para pelobi juga menguasai teknik-teknik diplomasi dan negosiasi. Dengan menguasai teknik-teknik lobi yang didukung kemampuan diplomasi dan negosiasi, pelobi akan menguasai teknik memengaruhi orang lain, menguasai seni berunding dan tawar-menawar serta menguasai seni menyuruh orang lain mengerjakan sesuatu tanpa orang tersebut merasa terpaksa. Dengan demikian, peluang memengaruhi orang untuk mengikuti kehendaknya, mengabulkan usulan, rencana dan gagasannya akan lebih besar. 
 Apa Kata Masyarakat tentang Lobi?
Ada pendapat yang mengatakan bahwa keberhasilan lobi pada satu pihak sama artinya dengan kerugian pada pihak lain. Pihak lain yang dimaksud di sini adalah  kompetitor, masyarakat, ataupun mitra bisnis Anda. Posisi profesi pelobi masih dipandang negatif bagi sebagian masyarakat kita.
Di kalangan masyarakat umum, fungsi lobi mengandung makna sedikit negatif karena tujuannya tidak lain adalah untuk mewujudkan kepentingan pelobi, bukan untuk kepentingan masyarakat banyak. Dengan kata lain, lobi dapat berpotensi merugikan masyarakat banyak,  keputusan yang diambil pemerintah dapat menguntungkan pihak pelobi saja dengan alasan berikut ini. 
Seperti pendapat Tarmudji (1993:2), sasaran lobi adalah pejabat pemerintah. Hal tersebut memungkinkan pejabat pemerintah melakukan penyalahgunaan wewenang.  Menguntungkan satu pihak dan mengalahkan kepentingan pihak yang lain. Apalagi, jika si pelobi memiliki kemungkinan untuk memberikan sesuatu imbalan atau kompensasi tertentu pada pejabat pemerintah  berupa sogokan, fasilitas, kemudahan, kemewahan dan sebagainya, agar keinginannya  berhasil atau memperlancar jalan usahanya.
Lobi memungkinkan pejabat pemerintah memenangkan pelobi yang memiliki kelebihan dan memberikan dukungan fasilitas padanya. Mengalahkan yang lain, yang dinilai hanya memberikan sedikit keuntungan atau tidak mendatang keuntungan sama sekali. 
Banyak kalangan memandang, pejabat pemerintah tidak memandang kualitas, profesionalisme dan nilai-nilai positif lainnya. Sebaliknya, yang dipandang ialah kuantitas barang dan fasilitas yang dia terima sebagai dasar pengambilan keputusan untuk memenangkan pelobi.
Hal seperti ini memunculkan orang yang pandai dalam hal berkomunikasi, namun lemah dalam kompetensi dasar sebagai pemenang. Para pegawai yang memiliki kualitas keahlian (skill), pengetahuan (knowledge), dan sikap (attitude) yang baik akan terpinggirkan hanya karena tidak pintar berkomunikasi dan bersilat lidah.
Dalam organisasi, atau perusahaan sendiri, juga bisa terjadi lewat lobi orang yang tidak memiliki kompetensi manajerial maupun leadership bisa menduduki posisi tinggi.  Ini akan mematikan kreativitas pegawai dan semangat kompetisi. Dampak negatifnya ialah orang yang ahli dalam organisasi dan perusahaan tersebut lari meninggalkan organisasi atau perusahaannya pindah ke tempat lain. 
Di sisi lain, bagi kalangan tertentu, ada juga yang mendukung kegiatan lobi-melobi ini.  Dengan kemajuan teknologi informasi, ilmu pengetahuan dapat diperoleh dan dipelajari dari berbagai sumber dengan mudah dan biaya murah. Keunggulan seseorang tidak lagi dilihat dari gelar kesarjanaan, keahlian dan pengalaman semata. Untuk itu, dibutuhkan keterampilan lain yang dinilai positif.  Keahlian tersebut adalah keahlian membangun jaringan kerja atau networking yang luas melebihi orang lain.   
Luasnya networking seseorang memungkinkan ia lebih sukses dari yang lain. Untuk itulah mereka perlu mengimbanginya dengan meningkatkan kemampuannya melobi.  Dengan kemampuan melobi ini, ditambah networking yang luas memungkinkan kariernya sebagai individu meningkat pesat dan organisasi atau perusahaan tempatnya bergabung  ikut terangkat maju. Orang yang memiliki networking luas sangat dibutuhkan organisasi dan perusahaan dewasa ini. Bila kita melihat iklan lowongan kerja di surat kabar tidak hanya gelar kesarjanaan, keahlian dan pengalaman yang dituntut. Namun, luasnya relasi juga turut  menentukan seorang pelamar diterima menjadi pegawai atau tidak. Itu berarti  kompetensi seseorang dalam kegiatan lobi-melobi telah membuatnya memiliki keunggulan bersaing dan dengan sendirinya kini fungsi dan profesi lobi menduduki tempat yang tidak lagi dipandang rendah. 
Sejalan dengan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan, lobi bisa dipandang negatif bisa juga dipandang positif. Sama seperti sebilah pedang yang tajam yang bisa dipergunakan untuk tujuan baik bisa juga dipergunakan untuk tujuan buruk, demikian juga dengan lobi. Sejauh lobi ditujukan untuk kemajuan individu, organisasi atau perusahaan secara positif, berpatokan pada etika dan terkandung nilai-nilai religi, lobi itu akan menjadi suatu yang baik.
Pentingnya Lobi bagi Individu dan Organisasi

Seiring dengan bergesernya sikap masyarakat terhadap lobi ini, berbagai aksesori yang mengikuti kegiatan lobi ikut bergeser. Kegiatan lobi yang profesional kini tidak lagi hanya diikuti atau didukung segala aksesori untuk keperluan sogok-menyogok semacam ”under table money” alias uang suap atau uang semir  atau  pertemuan di hotel mewah yang disertai kerling genit wanita pendamping lobi seperti lady’s escort.  Meski aksesori yang tradisional ini juga masih dilakukan  segelintir individu yang melanggar etika, fasilitas pendukung lobi ini kini juga telah bergeser ke dalam wujud yang ”abstrak” atau intangible. Bukan lagi fasilitas mobil, uang sogokan, dan segala pernak-pernik lainnya, kini seseorang telah membekali lobinya dengan ’gambaran’ peluang (opportunity), janji keuntungan, kepercayaan dan bahkan segala sesuatu yang masih bersifat potensi atau belum nyata. Dan seterusnya.....
Disadur dari Buku Teknik Lobi dan Diplomasi Pengarang Zainal Abidin Partao Penerbit Indeks Jakarta. [Bab 1 hal 1]

Ruang Lingkup Kegiatan Public Speaking

Latar belakang dan pengertian Public speaking.
Semua orang dapat berbicara, tetapi tidak semua orang dapat berbicara dengan lancar dan menarik di  depan umum. Apalagi kalau Anda berbicara dan menjadi pusat perhatian dalam suatu acara resmi maupun tidak resmi. Anda harus menyajikan  isi dari suatu materi yang akan disajikan atau disampaikan dalam pidato. Cara mengungkapkannya memerlukan teknik-teknik tersendiri dan hal tersebut dapat dipelajari. Oleh karena itu pelajaran ini lebih banyak memusatkan perhatian “bagaimana” Anda berbicara atau menyampaikan gagasannya,  bukan pada “apa” yang Anda katakan.
Istilah public speaking berawal dari para ahli retorika, yang mengartikan sama ialah seni (keahlian) berbicara atau berpidato yang sudah berkembang sejak abad sebelum masehi.
Mengapa kita berpikiran negatif menggunakan kata “retorika”?  Seperti  yang diungkapkan Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya “Retorika Modern” (cetakan keenam, tahun 2000), bahwa  kemajuan Negara Barat bukan saja bertumpu pada pengetahuan matematika, fisika atau kimia. Kalau mendalam lagi keingintahuan kita mengapa mereka memiliki kemampuan luar biasa dalam ilmu-ilmu alam, bukan saja mereka pikirkan tetapi bagaimana kemampuan mereka  menyajikannya dengan ucapan yang jelas sehingga khalayaknya paham dan mengerti hasil presentasinya.
Berabad-abad lalu mereka berpijak pada budaya yang mementingkan  pendidikan bahasa, yang berakar pada filsafat Yunani dan yang bertumpu pada retorika. Kemudian ada anggapan negatif apabila menggunakan kata retorika, kita sedang berhadapan dengan seni propaganda, menggunakan kata-kata yang indah dan bagus yang disangsikan kebenarannya.
Pengertian sebenarnya “retorika” yakni pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa sebagai kemampuan berkomunikasi dalam media pikiran. Dengan retorika, para pemimpin dapat menaklukkan hati dan jiwa, atau  kemampuan mengotak atik otak, sehingga keputusannya dapat diterima karyawan atau audiens.
Pada abad ke 20, retorika mengambil manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan modern, khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika mulai digeser speech communication, atau  oral communication atau lebih dikenal dengan  public speaking.
Tokoh-tokoh retorika mutakhir:

1.                 James A.Winans dalam bukunya “Public Speaking” (1917) menggunakan psikologi dari William James dan E.B Tichener, Sesuai  teori James bahwa tindakan ditentukan perhatian, Winans mendefinisikan persuasi sebagai “proses menumbuhkan perhatian. Pentingnya membangkitkan emosi melalui motif-motif psikologi seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban agama. Winans adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950).

2.                 Charles Henry Woolbert  yang  juga pendiri Speech Communication Association of America. Psikologi yang mempengaruhinya adalah behaviorisme dari John B.Watson. Woolbert memandang Speech Communication sebagai ilmu tingkah laku. Pidato merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah dasar utama persuasi. Dalam menyusun persiapan pidato harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut : (1). Teliti tujuannya, (2). Ketahui khalayak dan situasinya, (3). Tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi tersebut, (4). Pilih kalimat-kalimat yang dipertalikan secara logis. Bukunya, The Fundamental of Speevh.

3.                 William Noorwood Brigance.  Berbeda dengan Woolbert yang menitik beratkan logika, Brigance menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. Persuasi meliputi empat unsur: 1). Rebut perhatian pendengar, 2). Usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter Anda, 3). Dasarkanlah pemikiran pada keinginan, dan 4). Kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar.

4.                 Alan H.Monroe dalam bukunya, Principles and Types of Speech. Pertengahan  tahun 20-an Monroe bersama stafnya meneliti proses motivasi. Jasa, Monroe, cara organisasi pesan. Menurut Monroe pesan harus disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence.

Dari uraian di atas tadi, public speaking adalah berbicara didepan umum, bagaimana Anda berbicara menyampaikan pesan atau gagasan yang ingin diketahui audiens. Hal-hal seperti demikian yang selalu menjadi pusat perhatian Anda.

Public Speaking sebagai sarana Komunikasi.
Mengapa public speaking dianggap sebagai sarana komunikasi? Dalam sarana komunikasi atau sebuah wadah bergulirnya percakapan yang memerlukan umpan balik. Siapa saja yang terlihat atau berada dalam wadah itu? Dalam dunia komunikasi  terdiri dari komunikator, ada pesan dan komunikan. Semua ini akan berfungsi melalui channel atau saluran yang disebut media. Nah, dimana keberadaan “Public Speaking”. Kehadirannya dalam kegiatan komunikasi yang berperan adalah  komunikator atau public-Speaker.

          Dalam pelajaran ini pengetahuan yang akan menjadikan seseorang atau komunikator sebagai pembawa pesan, mempunyai kemampuan untuk menyajikan gagasan kepada audiens. Dengan demikian komunikator mengungkapkan ide dan dengan  kemauan  dengan tepat, cepat dan taktis. Dan seterusnya....

Disadur dari Buku Public Speaking Pengarang Helena Olii Penerbit INDEKS Jakarta. [Bab 1 hal 1]