Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Rabu, 25 Januari 2017

Opini Publik

Kebebasan Mengeluarkan Opini
Opini publik merupakan salah satu kekuatan sosial yang secara langsung maupun tidak langsung, dapat menentukan kehidupan sehari-hari suatu bangsa. Opini publik juga merupakan “penghubung” antara kehidupan sosial dan kehidupan politik manusia, juga merupakan bidang antara kehidupan sebagai makhluk sosial dan warga negara suatu bangsa. Selain itu, opini publik banyak digunakan media massa maupun kaum politisi dan pemerintah-pemerintah untuk memperoleh dukungan masyarakat terhadap program kerjanya. Salah satu peranan penting opini publik dalam proses pembentukan suatu undang-undang bahkan dalam menanamkan tertib hukum dan kesadaran hukum. Suatu rancangan undangundang dapat saja ditetapkan sebagai undang-undang, namun bila tidak dihayati warga negaranya, maka tertib hukum tersebut akan kurang terasa manfaatnya untuk masyarakat yang bersangkutan. Kemungkinan kurang informasi yang dimiliki opini publik tentang fungsi hukum dalam mempertahankan eksistensi suatu bangsa melalui penaatan terhadap hukum makin terbuka tempat atau forum pengeluaran opini ini dan juga makin banyak kemungkinan orang melanggar hukum.

Pikiran para Pakar Filsafat tentang Kebebasan Mengeluarkan Opini
Manusia dalam hidupnya mempunyai dua tujuan kepentingan,
1. Kepentingan pribadi (self interest) dan
2. Kepentingan kelompok (social interest)
Kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok memiliki hubungan sangat erat, sehingga sulit memisahkan kedua kepentingan itu. Bisa saja seseorang menyatakan bahwa ia melakukan sesuatu demi social interest-nya, namun kenyataannya, juga merealisasi self interest. Manusia hidup sebagai makhluk sosial, hidup dalam masyarakat yang mempunyai bermacam-macam keperluan pokok. Adanya kebutuhan dalam masyarakat, menyebabkan terjadinya komunikasi. Komunikasi yang harmonis didasarkan atas tumpang tindih kepentingan, untuk itu harus diketahui kerangka berpikir (frame of reference) dan data tentang pengalaman (field of experience) komunikan dan komunikator sendiri. Untuk itu, manusia memerlukan komunikasi sebagai alat pemenuhan kebutuhan, yaitu pertama-tama kebutuhan mental. Atas dasar itu, manusia berusaha mengeluarkan opininya Pada awal abad 17 sampai dengan abad ke-19, paham liberalisme, kemerdekaan mengeluarkan pendapat adalah demi kebenaran atau kebebasan akan membantu orang dalam menemukan kebenaran. Sisa-sisa filsafat liberalisme masih ada bahkan dipertahankan, sehingga umumnya setiap undang-undang negara manapun mempunyai pasal tentang kebebasan mengeluarkan opini. Indonesia mempunyai pasal 28 UUD-45, sedangkan dalam Declaration of human Right (1948), kebebasan tercantum dalam pasal 19. Kebebasan mengeluarkan opini dipertahankan demi kebenaran. Beberapa aliran meninjau kebenaran:
1 . Coherence theory, antara opini-opini yang dimiliki seseorang harus ada kesesuaian. Hal itu merupakan satu kesatuan bulat. Teori ini merupakan landasan berkembangnya ideologi-ideologi pada abad ke-19, sehingga seakan-akan teori ini hanya membenarkan opini sendiri dan menyalahkan opini orang lain. Dilihat dari ilmu jiwa sosial yang menyalahkan coherence theory ini, ternyata dalam diri manusia terdapat banyak opini dan norma-norma yang bertentangan satu sama lain yang membuatnya tak dapat diramalkan. 
2 . Correspondence theory, pernyataan manusia harus sesuai kenyataan. Teori ini merupakan landasan filsafat, opini yang menang adalah opini yang benar. Ilmu Jiwa Sosial banyak digunakan dalam memenangkan suatu opini, maka kebenaran teori ini disangsikan.
3. Pragmatisme, yang tumbuh pada akhir abad 19 dan disebarkan oleh William James hasil dari penelitian John Dewey di AS. setelah PD II populer kembali, menurutnya pemikiran kebenaran tetap dicari, karena orang mudah keliru. Pragmatisme sangat hati-hati menyatakan sesuatu itu benar, jadi teori ini menyatakan semua opini adalah relatif. Pemikiran ini tidak tergolong pragmatisme. Justru pragmatisme sebaliknya berpegang pada prinsip manusia bertanggung jawab atas opini-opininya, karena opini adalah penggerak dari tindakan. 
Opini seseorang adalah hasil pengalamannya, yang diajarkan kepadanya. Karena itu pragmatisme sangat menitikberatkan kepada pendidikan dalam mencari kebenaran, harus dapat dibuktikan sebagian benar pada masa lampau, sekarang dan masa depan. Dalam hal ini, pragmatisme menjelaskan pengaruh norma-norma pada manusia yang akan menentukan masa depannya, khusus pikiran individunya. Namun, bukan berarti manusia hanyalah hasil dari masa lampaunya, manusia mempunyai cita-cita yang mendorong dia untuk maju. Semua pikiran dan tindakan menusia diarahkan pada perwujudan citacita, dan tergantung pada kemampuan individu itu seberapa cepat atau lambat dia mencapainya. Bagaimana jika pragmatisme ditinjau dari segi masyarakat? Ternyata di dalam masyarakat tidak ada kebenaran yang mutlak bagi individu, karena kebebasan adalah juga hak-hak anggota masyarakat lain. Pada kenyataannya secara objektif bagi individu, dia dalam mencapai cita-cita terikat oleh “ self-discipline-nya” untuk menghormati kebebasan orang lain. Jadi, kemungkinan individu berbeda bahkan bertentangan cita-citanya dengan cita-cita individu lainnya, sehingga dalam masyarakat sering terjadi konflik. Proses verifikasi kedua kelompok seniman dan agamais, tidak lain adanya perbedaan dari kenyataan dengan cita-cita, atau bagaimana sebaiknya mencapai cita-cita yang dianggap benar. Kebenaran dapat dicapai dengan diskusi, maka pragmatisme mempunyai sasaran menggunakan pertukaran pikiran untuk mencapai:
a) Manusia bertanggung jawab;
b) Manusia yang hidup dengan sadar;
c) Manusia yang setiap kali mengadakan verifikasi dan intropeksi.

Dari faktor-faktor ini, tampaknya pragmatisme adalah sangat rasional.
4. Pendapat John Locke dan Leibnitz
Leibnitz mengatakan kebenaran diperoleh dari analisa dan sintesa, sedang Locke mengatakan ada tiga fase kebenaran yakni:
a) Intuition, merupakan tingkat kebenaran yang paling murni dan mendekati kebenaran mutlak. Menurut Locke, orang mempunyai perasaan, sesuatu itu benar atau salah;
b) Demonstration, merupakan pembuktian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan;
c) Perception, didasarkan pada hasil indera. Bentuk ini paling kecil kemungkinan kebenarannya, karena didasarkan pada indera.

Penilaian tentang Kebenaran Opini dan Norma-norma
Mengapa orang memperjuangkan dan mempertahankan kebebasan opini? Karena kebebasan mengeluarkan opini demi memperjuangkan kebenaran. Namun, kebenaran ditentukan oleh norma-norma yang dianut masyarakat sesuai tempat, zaman dan waktunya. Membahas suatu masalah secara tidak langsung juga membahas standar opini atau opini publik. Norma adalah nilai standar tentang baik buruk tindakan dan opini seseorang yang selalu diukur dan dinilai baik buruknya. Nilai dan sistem nilai masyarakat (= sistem norma) pada akhirnya akan menentukan nilai dan derajat kebenaran suatu opini. Jadi dengan norma saja, kebebasan mengeluarkan opini sudah mengalami batasan alaminya. Kebebasan mengeluarkan opini akan diizinkan dan ditoleransi selama tidak bertentangan dengan norma-norma kelompok dalam masyarakat. Misalnya, foto bugil Anjasmara yang dimuat di media massa, surat kabar dan televisi(2005), foto ini sekadar dokumentasi untuk museum dan bukan untuk dipublikasikan sehingga tidak jadi masalah pemotretan itu dan tidak berarti apa-apa. Tetapi sebaliknya, menimbulkan kemarahan masyarakat melihat adanya perbedaan situasi foto terbatas yang dianggap punya nilai seni dan masuk dalam media massa (surat kabar dan televisi) yang dinilai murahan. Banyak pembaca surat kabar menyesalkan, seorang artis yang dalam sinetron yang hampir selalu berperan sabar dalam kehidupan sederhana, tiba-tiba berubah dalam penampilan, yang menimbulkan pro dan kontra. Jadi, jelas norma berbeda dari, Dan seterusnya....

Disadur dari Buku Opini Publik Pengarang Helena Olii Penerbit Indeks Jakarta [Bab 1 hal 1]